Jumat, Februari 22, 2008

Belajar dari Lebah

Kita tentu tahu bahwa madu adalah sumber minuman yang penting bagi kesehatan tubuh manusia, tetapi apakah kita mengetahui sifat-sifat luar biasa dari sang penghasilnya, yaitu lebah madu. Ada yang menarik dari perilaku lebah jika kita mengamatinya, yaitu lebah hanya mau memakan makanan yang baik (sari bunga atau nektar), dan dari makanan yang baik itu menghasilkan sesuatu yang baik pula (madu) yang memberikan manfaat sangat besar bagi manusia. Madu adalah salah satu minuman yang direkomendasikan oleh Rasulullah untuk membentuk ketahanan tubuh dan pengobatan.

Nektar atau sari bunga tidak dijumpai pada musim dingin. Karena itulah, lebah mencampur nektar yang mereka kumpulkan pada musim panas dengan cairan khusus yang dikeluarkan tubuh mereka. Campuran ini menghasilkan zat bergizi yang baru –yaitu madu— dan menyimpannya untuk musim dingin mendatang.

Sungguh menarik untuk dicermati bahwa lebah menyimpan madu jauh lebih banyak dari yang sebenarnya mereka butuhkan. Pertanyaan yang segera muncul pada benak kita adalah mengapa lebah tidak menghentikan pembuatan madu ketika telah mencukupi untuk kebutuhannya? Jawaban untuk pertanyaan ini dapat ditemukan dalam ayat Al-Qur’an berikut ini.

“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memikirkan.” (QS. An-Nahl: 68 – 69)

Ya, lebah menghasilkan madu bukan hanya untuk diri mereka sendiri, melainkan juga untuk manusia. Sebagaimana makhluk lain di alam, lebah juga mengabdikan diri untuk melayani manusia; sama seperti ayam yang bertelur setidaknya sebutir setiap hari meskipun tidak membutuhkannya, dan sapi yang menghasilkan susu jauh melebihi kebutuhan anak-anaknya.

***

Kita dapat memetik pelajaran berharga dari perilaku lebah. Pertama, semestinya kita hanya makan dari rezeki yang halal dan thayyib, karena dari rezeki yang halal dan thayyiblah akan timbul keberkahan. Rezeki yang tidak halal betapapun banyaknya tidak akan mendatangkan manfaat apalagi keberkahan bagi kita, justru sebaliknya malah akan mendatangkan mudharat.

Kalau kita umpamakan, rezeki yang halal itu ibarat air jernih yang dapat menghilangkan dahaga, sedangkan rezeki yang haram ibarat air got yang mengandung racun dan sumber penyakit. Bayangkan jika air got (baca: rezeki haram) itu diminum, tentunya akan menyebabkan berbagai macam kemudharatan bagi tubuh kita.

Kehidupan ekonomi negeri ini yang masih sulit memang membuat sebagian orang buta hati, sehingga tidak memedulikan lagi darimana dan dengan cara apa mereka mendapatkan uang. Bagi mereka yang penting adalah bisa makan dan menyambung hidup. Setiap orang tentu menginginkan bisa keluar dari kemiskinan yang menghimpitnya dan berharap bisa meraih kesuksesan. Banyak cara yang digunakan oleh orang untuk mewujudkan impian dan harapannya itu. Ada yang menggunakan cara-cara yang wajar, tetapi ada pula yang menghalalkan segala cara. Ada yang menempuh jalan yang halal, namun ada pula yang menempuh jalan haram.

Sebagai muslim, tidak patut bagi kita menghalalkan segala cara dan menempuh jalan haram untuk mewujudkan impian dan harapan kita tersebut. Bahkan terhadap cara-cara yang syubhat sekalipun, karena sesuatu yang halal telah jelas kehalalannya, pun sesuatu yang haram telah jelas keharamannya, dan di antara halal dan haram terdapat ketidakjelasan (syubhat).

Sungguh sedikit orang yang menyadari hal ini. Padahal orang yang mampu menghindari perkara syubhat karena khawatir terjerumus ke dalamnya, termasuk orang yang telah menjaga agama dan kehormatannya. Sebaliknya, mereka yang tidak risih terhadap perkara-perkara syubhat, dikhawatirkan tercebur ke dalam keharaman.

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar ungkapan seperti ini, “Mas, mas nyari uang yang haram saja susah apalagi yang halal.” Ungkapan seperti itu sering kita dengar di tengah kondisi ekonomi negeri ini yang masih sulit. Entah dengan maksud bergurau atau justru dengan maksud yang sangat serius?

Memang setiap saat peluang untuk mendapatkan uang dengan jalan yang tidak halal selalu muncul, mulai dari yang kecil-kecilan sampai yang raksasa. Sangat banyak contoh yang bisa disebutkan. Seorang karyawan bisa saja menuliskan angka yang lebih besar di faktur pembelian dari angka yang sebenarnya dibayarkan. Dalam skala yang lebih besar, seorang pejabat yang korupsi dana anggaran pembelajaan daerah atau seorang pengusaha yang kongkalingkong dengan pejabat untuk memuluskan bisnisnya.

Orang-orang seperti itu tentulah orang yang tertipu. Di dunia ini karunia Allah sangatlah luas dan tak terhitung banyaknya. Rezeki yang halal jauh lebih banyak ketimbang yang haram. Jadi, kalau yang halal saja banyak tersedia, buat apa nyari yang haram?

Kita harus yakin bahwa Allah telah menyediakan rezeki bagi setiap makhluk-Nya, bahkan binatang melata sekalipun telah ditetapkan rezekinya oleh Allah (QS. Hud: 6). Lalu mengapa kita takut tidak kebagian rezeki? Mengapa kita menggadaikan kejujuran demi mengejar keuntungan melimpah? Mengapa kita menempuh jalan haram dalam menjemput rezeki? Mengapa kita menghalalkan segala cara dalam berbisnis?

Kita harus menyadari bahwa kita bukan diperintahkan untuk mencari rezeki, karena kalau mencari belum tentu ketemu. Tetapi kita hanya diperintahkan untuk menjemput rezeki yang telah disediakan Allah. Jika ayam dan burung saja yang tidak memiliki akal bisa menjemput rezekinya, semestinya kita yang dikaruniai akal mampu menjemput rezeki kita dengan baik, dengan menjunjung tinggi nilai kejujuran.

Jujur adalah salah satu kunci meraih kesuksesan. Bukankah seorang pembeli hanya akan membeli kepada penjual yang jujur, seorang atasan menyukai karyawan yang jujur, pengusaha menyukai partner bisnis yang jujur, bahkan perampok sekalipun menginginkan rekan yang jujur. Coba saja Anda banyangkan sekawanan perampok yang telah “sukses” menjarah harta korbannya kemudian membagi-bagi hasil rampokannya. Kalau dalam proses pembagian hasil rampokan itu ada yang tidak jujur, maka mereka bisa saling membunuh.

Ternyata orang jahat sekalipun menginginkan partner yang jujur, lalu mengapa kita tidak menjadi orang yang jujur? Banyak peluang yang menanti bagi orang-orang yang jujur. Jujur adalah mata uang yang berlaku di manapun dan sampai kapanpun.

Selanjutnya, pelajaran kedua adalah kita semestinya bisa menjadi manusia yang memberikan manfaat bagi orang lain. Lebah saja –binatang kecil dan tidak memiliki akal—mampu menghasilkan sesuatu (madu) yang sangat bermanfaat bagi manusia, lalu mengapa kita tidak? Rasulullah mengingatkan kita bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain (khairun nas anfa’uhum linnas).

Apapun profesi yang kita sandang, kita bisa menjadi manusia yang memberikan manfaat bagi orang lain. Jika kita seorang petani, maka bertanilah dengan giat agar menghasilkan hasil panen yang bagus dan melimpah untuk memenuhi kebutuhan pangan orang lain. Jika kita seorang pedagang, maka berdaganglah dengan jujur, tidak menyurangi atau membohongi pembeli. Jika kita seorang guru atau dosen, maka mengajarlah dengan ikhlas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Jika kita seorang pejabat, maka jagalah amanah yang dibebankan kepada kita dan sejahterakanlah rakyat yang kita pimpin. Jika kita seorang pengusaha, maka teruslah berinovasi menghasilkan produk-produk yang bermanfaat bagi masyarakat, begitu seterusnya. Dengan demikian, kita menjadi orang yang mampu memberikan manfaat bagi orang lain.

Hidup akan menjadi lebih bermakna jika keberadaan kita sangat dibutuhkan oleh orang lain, karena manfaat dan kebaikan yang kita tebar kepada sesama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Berikan Komentar di Sini!